Perusakan Lingkungan sebagai Tindak Kekerasan
Berawal
dari peristiwa eksploitasi kekayaan alam yang tidak menyejahterakan masyarakat
setempat, sehingga masyarakat berdemonstrasi, kemudian terjadi konflik fisik
antara masyarakat dan aparat keamanan. Ketika muncul pertanyaan, “Manakah yang
termasuk tindak kekerasan?” Banyak orang dengan mudah akan menjawab bahwa
konflik fisik tersebut merupakan tindak kekerasan, sedangkan eksplorasi
kekayaan alam seperti itu hanya dilihat sebagai kesalahan kebijakan oknum
terkait.
Kekerasan
seringkali dipahami secara sempit sebagai perilaku satu manusia terhadap
manusia lain atau sekelompok manusia terhadap manusia lain untuk mempertahankan
kekuasaan atau eksistensi manusia atau kelompok manusia tersebut, sedangkan
kekerasan terhadap alam atau lingkungan hidup tidak dianggap sebagai kekerasan.
Jika kekerasan hanya dipahami dalam sudut pandang yang sempit seperti itu, maka
perusakan lingkungan hidup tidak akan pernah dipandang sebagai tindakan yang
mengancam keselamatan manusia.
Keselamatan
manusia pada masa mendatang hanya menjadi sesuatu yang diasumsikan, diangankan,
atau diandaikan terjadi. Ia hanya ilusi. Bukan sesuatu yang dipastikan
terwujud. Sebab, masa depan sejatinya merupakan sesuatu yang belum pasti.
Kepastian hanya ada pada masa kini atau bahkan hari ini. Oleh karena itulah,
apa yang bisa diperoleh atau dinikmati dari alam harus diprioritaskan untuk
memenuhi kebutuhan manusia pada masa kini atau bahkan hari ini tanpa peduli
apakah prioritas tersebut akan mengancam keselamatan generasi penerus atau
tidak. Yang terpenting, manusia masa kini atau hari ini selamat. Sebab, tanpa
masa kini atau hari ini, tidak akan ada masa depan.
Keadaan
seperti itulah yang menyebabkan eksplorasi kekayaan alam berubah menjadi
eksploitasi kekayaan alam yang tidak akan pernah dianggap sebagai tindakan
kekerasan. Begitu pula dengan perilaku yang tidak menunjukkan keramahan pada
alam, seperti menebang pohon dan membunuh satwa di hutan lindung, pembalakan
liar atau illegal logging, pembuangan limbah pabrik ke sungai secara
sembarangan, pencemaran udara, pemanfaatan kertas yang berlebihan, serta
pembangunan gedung yang penuh dengan kaca.
Padahal,
dalam konteks lingkungan dan pembangunan, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menegaskan
bahwa salah satu prinsip kunci pembangunan berkelanjutan adalah upaya memenuhi
kebutuhan sekarang tanpa mengesampingkan kemampuan generasi masa depan untuk
memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Dalam konteks Indonesia, Pasal 33 Ayat 3
Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 mengamanatkan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya perlu dipergunakan untuk kemakmuran rakyat, baik
generasi sekarang maupun mendatang.
Namun
jika kita tidak dapat bertindak untuk melindungi bumi, air, dan kekayaan alam,
dampak yang akan kita tanggung akan menjadi begitu langsung dan menekan
dikarenakan konsekuensinya yang begitu besar. Anak-cucu kita pada masa
mendatang pun akan membayar jauh lebih mahal karena beban yang kita wariskan
begitu berat, yakni kerusakan alam yang sangat parah.
Jika
perilaku yang berhubungan langsung dengan alam atau lingkungan hidup saja tidak
dianggap sebagai tindakan kekerasan, apalagi perilaku yang tak berkaitan
langsung. Padahal, perilaku tersebut juga dapat mengancam keselamatan manusia
masa kini sekaligus masa depan. Misalnya saja konsep pembangunan dan produksi
yang eksploitatif, korupsi dana reboisasi, korupsi dana penanganan bencana alam
atau banjir, penyuapan atau penyogokan dalam kasus pelanggaran peraturan
lingkungan hidup, kelalaian dalam pengawasan perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup, serta kelalaian dalam pengantisipasian kemungkinan terjadinya
bencana alam atau banjir.
Kini
sudah saatnya setiap perilaku yang tidak ramah lingkungan ditempatkan sebagai
tindakan kekerasan dalam perspektif yang luas sebagaimana dipahami Johan
Galtung. Beliau menggabungkan tersedianya fasilitas dan mobilitas dengan
kemauan baik untuk mengatasi kekerasan. Bila wawasan, sumber daya, dan hasil
kemajuan disalahgunakan untuk tujuan lain atau dimonopoli segelintir orang
saja, ada kekerasan dalam sistem tersebut. Misalnya, banjir yang rutin terjadi
di negeri ini.
Hujan
yang menjadi salah satu penyebab banjir memang tidak dapat dipastikan kapan
turunnya, namun kita mengenal rentang masa ketika hujan biasa luruh ke bumi.
Kita juga memahami wilayah-wilayah yang rutin dilanda banjir. Kita juga mafhum
bahwa tidak biasanya masyarakat membuat sampah di tempatnya turut berpotensi
mengundang banjir. Kalau kondisi-kondisi yang secara langsung atau tak langsung
dapat memicu terjadinya banjir kurang atau tidak diantisipasi atau bahkan
dibiarkan, pada saat yang sama, kekerasan telah dimulai. Ketika banjir
meratakan banyak wilayah serta berbagai alasan langsung dan tak langsung
menunjukkan ketidakmampuan penanganan bencana banjir.
Seharusnya
kini setiap perusak alam atau lingkungan tidak hanya dikenai sanksi
administratif, penjara 1-15 tahun, dan denda Rp500 juta-Rp15 miliar sebagaimana
yang dicantumkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, namunseharusnya dikenai sanksi atau hukuman
lebih berat. Kebijakan ini sangat beralasan, karena taruhannya bukan hanya
manusia dan makhluk hidup masa kini, tapi juga manusia dan makhluk hidup pada
masa mendatang.
Sanksi
sosial pun dapat ditimpakan kepada perusak alam atau lingkungan hidup. Hanya
saja semua itu memerlukan waktu yang panjang lantaran selama ini masyarakat
tidak menempatkan perusakan alam atau lingkungan dalam sudut pandang kekerasan.
Oleh sebab itulah, penanaman kesadaran terhadap setiap pemimpin setiap agen
atau calon agen perubahan, dan setiap generasi penerus menjadi sangat penting.
Di sisi
lain, setiap individu atau lembaga yang berperilaku atau berkontribusi pada
upaya-upaya pelestarian alam juga harus diapresiasi. Misalnya saja dengan
pemberian insentif pajak terhadap perusahaan atau insitusi yang intens
melakukan kegiatan-kegiatan yang ramah lingkungan, pengurangan tarif pajak bumi
dan bangunan (PBB) atau pemberlakukan tarif PBB yang berbeda terhadap pemilik
tanah dan bangunan yang berperilaku ramah lingkungan. Peyerahan
Anugerah Kalpataru kepada aktifis pelestarian alam, sehingga mampu
mengakomodasi kegiatan-kegiatan yang lebih sederhana, namun membumi dan
inspiratif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar